Surat Nasionalisme

Yo readers!

Aku sebenarnya maksain diri buat ngepost entri ini. Wifiku rusak, jadi aku harus korbanin kuota. Hikseu... oke jangan rewel sana nulis dasar bangke.

Baiklah. Silahkan, entri spesial bulan ini~


Surat Nasionalisme: Pagi


Burung-burung seolah menyapanya sambil beterbangan. Kicauan burung-burung itu terdengar seperti do'a, hati-hati di jalan, di telinganya. Sapuan warna merah di langit masih bertebaran, matahari masih terlihat seperti kuning telur yang direbus setengah matang. Seorang gadis berambut hitam pendek mengayuh sepedanya dengan bahagia ke sekolah. Betonisasi jalan sudah selesai, dia tidak perlu repot mendengar klakson-klakson kendaraan bermotor yang nggak sabaran. Gadis berambut hitam itu kembali menghirup udara pagi. Syukur dihaturkannya kepada Tuhan yang Maha Esa, tak berhenti ia berterima kasih atas karuniaNya. Tidak seperti anak-anak yang lain, Koko benar-benar semangat melangkah ke sekolah. 

Salah satu hal yang menambah semangat Koko adalah ambisi besarnya. Koko sudah merangkai cita-citanya sejak kelas tiga SD, dia akan jadi Presiden. Dia akan jadi Presiden yang bertindak tidak sesuai maunya, tapi juga mempertimbangkan rakyat. Koko sering sekali melihat berita di TV tentang masalah politik. Koko paling kesal melihat koruptor. Kebenciannya pada koruptor setara dengan rasa bencinya kepada nyamuk. Mungkin lebih. Koko paling tidak suka melihat orang yang tertawa diatas jasad orang lain.

Seperti biasa, halaman sekolah masih sepi saat Koko datang. Hanya ada Pak Cleaning Service yang sedang menyapu halaman sekolah. Koko mengayuh sepedanya menuju tempat parkir yang sudah disediakan. 

"Pagi, Koko!" Sapa Pak Ali, Cleaning Service yang sedang menyapu halaman ketika Koko menghampirinya. Sapu lidi sudah siap di tangan Koko walaupun tas masih di pundak. Koko yang selalu datang pagi dan berlari menuju gudang --mengambil sapu--lalu membantunya, wajahnya sudah dihafal oleh Pak Ali. Beliau bahkan sering memberi upah permen pada Koko yang selalu membantunya menyapu daun kering atau menyiram tanaman.
"Pagi Pak Ali!" Sapa Koko balik sambil tersenyum. Dia mulai menyapu daun-daun kering dan mengumpulkannya di satu tempat.


Matahari semakin naik. Dari jamnya, Koko tau kalau sekarang jam 6:15 pagi. Dia sudah di kelas dan dua bungkus permen stroberi dari Pak Ali sudah dikantonginya. Lima menit lewat dia duduk di bangku kelas, tapi belum satupun temannya menampakkan batang hidung. Koko hanya mendengar beberapa derap kaki orang lain di luar. Mungkin guru. Sebenarnya, Koko kadang bingung dengan teman-temannya yang selalu mengeluh malas belajar. Koko selalu berpikir, Iyakah mereka serius dalam meraih cita-cita? Mengapa beberapa dari mereka bahkan tidak tau mau jadi apa dewasa nanti? Kenapa sepertinya cuma Koko yang datang ke sekolah paling pagi dan membantu Pak Ali? Kenapa yang lain justru bermalasan di rumah dan akhirnya terlambat?

Diusirnya segala pikiran buruk yang berseliweran di otaknya. Koko mencoba berpikir positif. Mungkin teman-temannya punya cara lain untuk menggapai cita-cita mereka. Lagipula, nggak ada jaminan Koko yang rajin belajar akan lebih sukses dari mereka yang malas kan?

"Pagi, Koko!" Pintu kelasnya terbuka. Seorang teman sekelasnya masuk dan menyapanya.
"Pagi!"

----

Lain padang, lain belalang. Atmosfir pagi ini sungguh tidak nyaman. Langit pagi yang kelabu mempersuram suasana, Pemuda itu tidak berani naik angkot atau naik mobil dan berhenti tepat di depan sekolah. Untuk alasan yang tidak dipedulikan dan tidak ingin diketahui olehnya, murid-murid sekolahnya semakin rajin tawuran dengan sekolah sebelahnya. Menghalangi jalan dan membuat macet. Diputuskannya untuk turun di dekat sekolah saja, berterima kasih pada supir, lalu berjalan menuju sekolah.

Erry berjalan perlahan di trotoar. Dia merapatkan jaket hitamnya, berusaha menyembunyikan seragam sekolahnya. Diliriknya jalan raya dengan sekilas. Anak-anak sekolahnya menggenggam senjata, menatap nanar ke arah gerombolan anak sekolah lain di depan mereka. Jeritan klakson mobil seolah musik pengiring di telinga mereka. Mereka siap menyerang satu sama lain, tinggal menunggu waktu saja, sepertinya. Erry mempercepat langkah, ia tidak ingin menghadapi pertarungan. Dia tidak suka melihat kebiasaan SMAnya ini. Sama sekali tidak.

"Siapa yang mengajari mereka berbuat seperti ini?"

Pertanyaan yang terus mengganggu benak Erry. Dia mengutuk siapapun yang sudah merusak mental bangsanya ini. Ini bukan zaman perang. Justru yang dicari-cari adalah perdamaian. Sementara mereka dengan mudahnya memicu perang antar saudara. Tidakkah mereka sadar kalau itu saudara mereka?

Tegang langkahnya berkurang saat kakinya sudah menapak di lapangan sekolah yang luas. Lapangan sekolah sepi. Biasanya ada beberapa mobil, tapi blokade jalan sudah menjelaskan suasana sepi disini. Erry berjalan hati-hati ke kelasnya, berusaha meminimalisir getaran suara hasil dari kakinya. Dibuka pintu kelasnya, dan terlihatlah kebiasaan-kebiasaan buruk penghuninya.

Seperti biasa, para perempuan berkumpul di tengah kelas, sibuk menggosip dalam kelompok masing-masing. Beberapa murid sedang sibuk membuat PR. Anak-anak tidak rajin. Tersebar juga beberapa anak yang masih normal, sedang membaca atau hal yang tidak aneh lainnya. Sementara di pojok belakang kelas, ada segerombolan dengan sifat-sifat yang paling buruk. Beberapa pemuda sedang melihat layar laptop. Menonton sesuatu yang membuat muka mereka merah. Siapapun juga pasti tau apa yang sedang mereka tonton. Tidak perlu berpikiran buruk, karena itu sudah jelas-jelas buruk. Mereka melakukannya tiap hari malah. Erry menatap mereka jijik selagi mengampiri sebuah meja kosong. Jujur, Erry juga pernah menonton hal yang tidak pantas. Tapi demi Tuhan, Erry tobat dan tidak ada niat lagi untuk mengulanginya. Dia tahu hal itu membuat kecanduan, dan dia menghindari itu sebisanya. 

Tidakkah mereka sadar bahwa itu bukanlah kebiasaan yang baik?

Erry menaruh tasnya dan menduduki bangku. Membuka tas dan membaca buku. Memikirkan bertapa rusaknya mental anak-anak itu.

----

Kerudung gadis itu berkibar. Dia menatap langit, mengagumi betapa hangatnya cahaya yang menyirami dia dan sekitarnya. Awan-awan di sekitarnya yang seolah menjaga sang Surya, berwarna putih bersih. Tidak seperti pagi mendung di hari-hari kemarin, Mentari sepertinya sudah bosan bersembunyi.

"Kakak, Matahari kak!" Seorang bocah laki-laki mendekatinya, dan ikut memandang matahari bersama kakaknya. Telunjuk bocah itu menunjuk-nunjuk bintang besar di langit sana.
"Iya Sen, semoga hari ini nggak hujan." Gadis itu mengelus kepala bocah itu sambil tersenyum. Matanya masih terfokus ke matahari disana. Begitu juga adiknya.

"Aida! Sena! Sarapan dulu sini!" Seorang wanita dewasa memanggil mereka, dan refleks mereka menengok ke belakang. Ibu mereka datang membawa secangkir bubur kacang hijau.
"Kalian tetap sekolah ya, Ilmu itu harus selalu dicari dalam kondisi apapun!" Ibu mereka menasihati, "Bahkan di tengah bencana seperti ini!"
"Tapi bu, buku Sena ditinggal di rumah, dan pasti udah basah banget sekarang." Sena, sang adik, mengeluh pada ibunya. 
"Kakak berhasil menyelamatkan buku kan?" Ibunya menatap ke sang kakak.
"Iya. Aku selalu bawa buku dan alat tulis kemana-mana." Jawab sang Kakak, "Agak basah tapi."
"Berikan ketas buat Sena nak. Pinjamkan pensil juga."
"Oke bu. Oh iya, sekolah kita bukannya kena banjir juga?"
"Iya, tapi ada sekolah sementara kok. Di luar balai desa ada tiga tenda besar, yang merah untuk SD, yang biru SMP, yang kuning SMA. Kalian cepatlah siap-siap."
"Seragamnya?"
"Boleh pakai baju bebas, Sen."
"Okelah kalau begitu. Kak, ayo ke sekolah!" 
"Sarapan dulu!" Aida menyodorkan cangkir bubur di depannya dan dua buah sendok. Sena tertawa cekikikan sambil menghampiri kakaknya. Mereka melahap bubur itu berdua dan dengan bahagia.

Aida yang sudah menginjak bangku SMA merasa sangat lebih dari cukup bisa bersekolah. Aida sering sekali mendengar kisah-kisah tentang anak di luar sana yang tidak bisa sekolah. Makan susah. Tempat tinggal kumuh, baju pun lusuh. Tidak terbayang baginya rumah mungil mereka tersapu banjir seperti yang dialaminya. Tapi buktinya itu memang menimpa mereka. Belasan, atau mungkin puluhan pengungsi di sini merupakan orang yang kekayaannya di bawahnya. Untunglah kepala desa mereka orang berada dan rela memberi rakyatnya bantuan.

Aida ke luar balai desa sambil menggandeng Sena. Baju kotor bukan masalah bagi mereka. Buku serta alat tulis yang buruk bukan penghalang mereka menuntut ilmu. Genangan air yang membasahi tanah masih bisa mereka lewati. Justru pantulan sinar keperakan dari raja siang membuat suasana menjadi hangat dan menambah semangat. Dia --dan dia harap, semua siswa di seluruh dunia-- pasti tidak akan keberatan sepatunya kotor, jika untuk menuntut ilmu. Tak ada penghalang bagi mereka untuk menuntut ilmu. Tak ada alasan.


Dengan ilmu, dia tau kalau kebahagiaan bisa menghampiri kapan saja, dimana saja, dan untuk siapa saja. Dan kebahagiaan berasal dari diri sendiri. Dia akan membuat kebahagiaan itu terus merekah. Bahkan di balai pengungsian.


----

Dalam tiga latar, ada tiga pagi yang berbeda.
Tinggal menunggu waktu, tiga latar itu akan melebur menjadi satu.

--akhir prolog--




Surat nasionalisme: Pertemuan

Tiga siswa SMP itu berjalan perlahan di pinggir jalan raya. Melihat ke kanan dan ke kiri, adakah orang yang membutuhkan batuan mereka. Sore hari yang tidak terlalu panas adalah salah satu hal yang mereka syukuri. Yang mereka khawatirkan adalah akan jadi seberapa cepat sore itu berlalu. Dari sekolah usai jam 3 sore, sekarang pasti sudah jam 4. Mereka berjalan beriringan ini bukan dengan kemauan sendiri. Guru Sosiologi mereka yang banyak omong adalah satu-satunya alasan mengapa mereka bersusah payah berjalan sementara anak yang lain mungkin sedang sibuk bermain tablet di rumah. Hukuman akibat menyepelekan tugas, dijatuhkan kepada tiga anak ini. Dua di antara mereka memang bersalah, tapi satunya lagi bahkan baru masuk ketika divonis hukuman ini sebagai kompensasi.

"Kenapa dari tadi orang yang kita temui nggak ada yang mau terima ya..." Seorang gadis berambut pendek menatap bungkusan makanan di tangannya.
"Sungkan banget semua orang." Gerutu seorang gadis berkuncir dua.
"Duuuh, gue capek banget asli." Teman laki-lakinya mengeluh.

Mereka terus mengeluh dan mempertanyakan nasib. Hukuman mereka sebenarnya tidak terlalu sulit, hanya mencari seorang yang kurang mampu untuk diberikan makanan dan uang, lalu diwawancara dan minta foto. Beberapa orang pengemis sudah mereka temui, dan mereka dengan senang hati mau menerima makanan. Tapi saat ditawari wawancara, mereka justru mengembalikan makanannya lalu pergi menjauh. Tingkah laku orang-orang itu membuat mereka tak habis pikir. Mereka menolak makanan hanya karena akan diwawancara? Mereka benar-benar tidak mampu atau cuma pura-pura? Tiga murid SMP itu hanya bisa mengeluh tiap kali orang menolak mereka. Satu pertanyaan menghantui benak mereka. Akankah hukuman ini terselesaikan, atau pencarian akan berlanjut sampai besok?

"Ko, disitu ada orang tuh!" Si kuncir dua, Emi, menunjuk seseorang yang berjarak beberapa meter di depan mereka yang sedang berjongkok di dekat pohon.
"Eh, tapi orang itu kan belum tentu orang nggak mampu. Gimana kalau dia orang jahat atau orang gila? Lagipula ngapain dia disitu?" Koko menahan Emi yang hampir lari ke orang itu, "Mungkin aja dia cuma orang numpang lewat."
"Jangan prasangka buruk, Ko!" Emi menyikut Koko pelan.
"Bajunya kotor gitu, samperin dulu aja yuk?" Azra berlari ke arah orang itu. Emi dengan semangat mengikutinya, dan Koko yang sudah capek hanya berjalan cepat.
Koko masih agak ragu, dia takut kalau kakak itu ternyata penjahat. Sebenarnya kalau Koko perhatikan lagi, orang itu sama sekali nggak terlihat seperti orang tidak mampu. Tangannya yang terlihat karena lengan jaketnya digulung, sama sekali nggak kurus. Jaket hitam bertudungnya itu memang kotor, kotor banget malah. Tapi celana kakak itu berwarna abu-abu dan seragamnya putih bersih. Sepertinya anak SMA, tapi apa yang dia lakukan disini? 

Koko segera mempercepat langkahnya begitu melihat Emi dan Azra sudah ada di hadapan kakak itu.
"Permisi kakak, kita ada tugas dari guru untuk ngasih makanan ke orang nggak mampu, kakak mau nggak?" Azra kembali mengulang kalimat yang sudah dia ucapkan belasan kali hari ini sambil menyodorkan bungkusan makanan. Sudah tidak ada lagi rasa takut dan malu pada suaranya, dia hanya ingin tugas jahannam ini cepat selesai.
Kakak itu melirik sebentar, dan terdiam. Setelah mendapatkan kembali kesadarannya, dia menaikkan tudungnya hingga terlihatlah wajahnya yang terlihat agak sedih. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, lalu berdiri. Dia belum berkata apa-apa dan masih menatap ke arah tanah yang tadi dia gali.
"Maaf dek, tapi kakak bukan orang nggak mampu." Kakak itu mengalihkan perhatiannya dari tanah yang dia aduk-aduk di depannya, menghadap ke arah dua murid SMP itu (dan satu lagi yang masih mengejar mereka). Wajah sedihnya segera berganti dengan senyum ramah. Terlihat kurang alami, karena ekspresi sedih masih tersirat di wajahnya.

"Terus kakak ngapain disini?" Emi memicingkan mata ke arah tanah yang digali oleh kakak itu menggunakan sekop kecil,"Lagi cari harta karun?"
"Gak sopan lu Mi!" Azra menegur Emi pelan sambil menyikutnya.
"Ini tempat kakak mengubur time capsule sama temen-temen kakak, sayangnya kita semua sekarang kepisah-pisah. Cuma kakak dan satu temen kakak yang masih di sini. Tapi dia sudah meninggal dalam tawuran beberapa hari yang lalu..." Nada kakak itu terdengar sedih. Dia menahan nafas, matanya agak berair.
"Meninggal dalam tawuran?" Koko yang baru sampai langsung terbelalak kaget. Detak jantungnya yang masih belum teratur berhenti sejenak.
"Iya, dan sekarang harusnya saat dimana kita membuka time capsule kita. Karena dia sudah nggak bisa lagi, jadi kakak kesini sendirian." Kakak itu kembali berjongkok, lalu menggali tanah lebih dalam lagi. Emi, Koko, dan Azra mematung di depannya, merasa kasihan dengan kakak itu. 

"Aku bantu ya kak." Koko berjongkok dan ikut menggali tanah di depan pohon itu menggunakan tangan. Jiwa sosialisnya bicara. Dua temannya ikut berjongkok, tapi agak ragu karena mereka tidak mau tangan mereka kotor.
"Nggak usah dek, ini juga udah kelihatan kok permukaan kotaknya." Benar. Ada sesuatu yang keras diantara tanah-tanah itu. Kakak itu menggali lebih cepat lagi, lalu mengangkat kotak berwarna biru tua, lalu meratakan tanah yang tadi dia bongkar. Keempat orang itu masih berjongkok sambil memandangi kotak tua berlumuran tanah itu. 
"Itu ya yang namanya time capsule..." Koko menatap kotak itu antusias. Erry hanya tersenyum sambil mengangguk.

"Kalian nggak lanjutin tugas kalian? Tanya kakak itu.
"Oiya!" Emi baru sadar, "Duuh, malesnya."
"Eh, jangan malesan! Ayo kita cari lagi!" Koko menyemangati yang lain.
"Istirahat dulu dong Ko. Lumayan di sini adem." Azra bersandar ke pohon dekat galian tadi. Emi sudah dari tadi bersantai meluruskan kaki.
"Yaelah. Yaudah deh." Koko ikut bersanda ke pohon itu. Kakak yang tadi tersenyum melihat kelakuan mereka.
"Kalian jalan dari jam berapa? Capek banget kayaknya. Dan dihukum dalam rangka apa?" Kakak itu ikut bersandar bersama mereka. Angin mulai berhembus perlahan. Sinar matahari semakin memerah, mungkin sekarang sudah jam lima kurang.
"Pulang sekolah langsung cabut kak. Jam tiga." Jawab Emi.
"Kita nggak ngerjain tugas." Jawab Azra.
"Lebih tepatnya, dia dan dia yang nggak ngerjain tugas." Koko menunjuk Emi dan Azra, "Aku nggak masuk selama seminggu, nggak tau apa-apa, tau-tau udah didamprat." Lanjutnya dengan menggerutu.
"Capek nih kak. Asli deh." Emi mengacungkan jempol. Nadanya ironi.
"Pengen pulang tapi males jalan lagi besok..." Keluh Azra.
Kakak itu hanya mendengar celotehan mereka yang saling menyahut. Tanpa sadar bibirnya membentuk lekukan. Awalnya senyum, tapi selang beberapa detik berubah sedih. Dia teringat masa SMPnya. Lalu senyum itu kembali lagi. Melihat tiga remaja awal itu saling mengoceh, berdebat dan mengeluh, dia jadi ingin tertawa...

"Kakak kenapa?" Tanya Azra melihat kakak itu berekspresi aneh.
"Nggak, kakak cuma ingat masa SMP aja kok."
"Eh, daritadi kita belom kenalan loh. Nama kakak siapa?" Tanya Emi. Seperti biasa, dia yang paling suka ceplas-ceplos.
"Nama kakak Erry. Kalian?"
"Aku Emi. Yang rambut pendek Koko. Yang cowok Azra." Emi memperkenalkan dirinya dan teman-temannya.
"Oh iya, kok kakak nggak pulang?" Tanya Azra.
"Motor itu punya kakak kan?" Emi menunjuk motor hitam dekat mereka.
"Iya itu motor kakak. Kakak mau nungguin kalian dulu. Udah selesai istirahatnya?"
"Masih males kaaaak." Emi melonjorkan kakinya.
"Eh ayo kawan! Hari semakin sore kawan!" Koko bangkit berdiri. Melihat Azra dan Emi tak bergeming, Koko menarik tangan mereka. Tapi dua orang terlalu berat untuk Koko. Kemalasan dari keduanya juga mempertahankan posisi duduk mereka.
"Bentar, kakak punya usul."
"Usul apa kak?" Koko berhenti menarik tangan kedua temannya.
"Motor kakak nggak bisa membawa empat orang. Gimana kalau kalian berdua pulang, karena kalian kelihatan capek dan males banget? Sementara kamu, kakak tau ada desa dekat sini, kebanyakan penghuninya orang nggak mampu."

Hening sebentar.
"Mau nggak?" Tanya Erry.
"Mau nggak?" Ulang Emi.
"Mau aja deh. Gue ga kuat jalan lagi nih."
"Pulang naik apa? Ojek?"
"Naik angkot aja kali ya?"
"Angkot berapa emang yang lewat sini?"
"Naik 40 bisa kali."
"Nunggu--"
"Bentar-bentar. Kalian mah enak-enak aja bisa langsung ngacir pulang. Gue gimana kawan? Yakin orang ini nggak akan membawa gue ke tempat aneh?" Koko berbisik kepada tiga temannya.
"Yakin aja lah Ko. Tampangnya alim kok." Emi menyakinkan Koko.
"Maunya sih gitu, tapi kecurigaan tuh tetep ada, Mi..."
"Terus gimana? Gue udah ga ada niatan buat lanjutin tugas ini." Keluh Emi.
"Lu mau jalan sendiri, Ko?" Azra menyahut.
"Ogah banget! Jadi gue harus banget nurut nih?"
"Percaya aja deh Mi. Lumayan kan tumpangan gratis. Kali aja nanti dia baik mau nganterin lu pulang sekalian. Kalo ada apa-apa, tabok mukanya! Colok matanya! Tendang anunya! Lu gak akan kenapa-napa deh!" Emi menyemangati.
"Lu nggak tau seberapa gampangnya ngomong." Koko merengut. Memandang kesal kedua temannya.
"Semangat Koko!" Azra menyetop sebuah angkot yang lewat. Emi nyengir. Koko kaget setengah hidup. Azra dan Emi dengan muka nyebelinnya masuk ke angkot, melambai ke arah Koko. Muka mereka berdua udah kayak orang lulus UN, menurut Koko. Senang tak berujung. Koko yang udah capek tiada bandingan, sekarang diterjang rasa kesal setengah mati. Muka supir angkot yang jerawatan itu bener-bener minta ditabok. Kalau bisa, dia tendang angkot itu sekalian.
"Good luck ya, Ko!" Sahut Emi sejurus sebelum angkot itu berpacu.

Lalu hening lagi.

Erry memasukkan time capsulenya ke bagasi motor. Koko masih menatap nanar angkot yang pergi barusan.
"Jadi?" Erry siap dengan helm di tangan. Koko menatap tidak percaya.
"Aha, ini yang terbaik..." gumam Koko dengan sangat pelan. Teringat apa yang sering diucapkan teman-teman sekelasnya setiap kali masalah menimpa mereka.
"Oke kak." Koko membulatkan semangat. Dia harus semangat pada saat apapun. Itulah mottonya. Dia raih kembali plastik makanan yang tadi bersedih hati. Ada hal yang lebih penting yang harus dilakukan.
"Yuk." Erry memakai helmnya dan menaiki motornya. Koko dengan canggung duduk di boncengannya.
'Tenang Ko, tenang. Anggap lagi naik ojek.' Koko mempersantai saraf-sarafnya. 
Lalu motor itu berpacu meninggalkan tempat kejadian perkara. Berbelok di pertigaan, masuk gang-gang kecil. Koko mencoba mengusir was-wasnya dengan melihat ke langit. Baru Koko sadari, hamparan awan bertebaran terkena sinar kemerahan matahari terlihat indah sekali. Langitnya pun senada. Matahari di ufuk barat menyinari dengan sisa-sisa kekuatannya, memancarkan sinar oranye. Hangat. Udara hangat dengan hembusan angin sejuk. Suasana ini benar-benar mengingatkan Koko dengan rutinitas pagi harinya.
'Matahari telur setengah matang....'
Udara segar. Memang tidak sesegar pagi hari, tapi suhunya benar-benar nyaman.

Entah kebiasaan Koko yang tidak peka sekitar, atau memang waktu yang berjalan sangat cepat. Tapi sekeliling Koko sudah berubah. Dan dia baru sadar karena hantaman polisi tidur.

Sekarang di sekitarnya bukan lagi beberapa pohon dan dinding-dinding penuh mural. Bukan trotoar dan kaki lima. Kiri-kanannya tidak lagi luas. Bisa dipastikan ini hanya muat untuk dua motor, itu pun maksa. Jalanannya dari kerikil, bukan aspal. Terlihat di kiri-kanan ada kios-kios kecil yang tutup. Bisa dipastikan ini pasar. Jalanan basah sekali karena genangan air. Kubangan-kubangan kecoklatan yang memantulkan cahaya matahari. Ini musim hujan sih, jadi wajar kalau banjir.

"Waduh!" Erry berseru. Koko kaget karena inersia dari motor Erry.
"Kenapa kak?" Koko mengintip ke depan. Mereka ada di puncak tanjakan. Di depan jalannya ada turunan. Turunan yang cukup curam. Di kiri-kanan turunan itu berjejer rumah-rumah kecil yang kelihatan reyot, kurang layak huni. Dan air membanjiri turunan itu. Genangan air yang tinggi. Membanjiri hingga hanya bagian-bagian atas rumah saja yang terlihat.
"Gawat..." Gumam Koko. Hari semakin sore, sebentar lagi pasti matahari akan bilang sampai jumpa. Dan tugasnya masih belum beres...
"Nggak bisa lewat ini." Umpat Erry, "Nggak mungkin ada penghuninya. Pasti di barak pengungsian."
"Dimana gitu?" Koko memperhatikan sekitar. Di pasar nggak ada orang, apalagi di sini.
"Kakak gak tau, waktu itu cuma pernah bakti sosial disini, terus nggak pernah lagi."
Lalu mereka terdiam sebentar. Menatap pantulan cahaya yang terbias air kecoklatan. Menatap rumah-rumah yang tenggelam dengan tatapan miris. Masing-masing tenggelam dengan pikiran mereka sendiri. Mulut mereka terkunci, tapi pikiran mereka melayang-layang.

Bukan tugas yang Koko khawatirkan, tapi nasib prang-orang yang terkena musibah ini. Bukan harta kekayaan mereka yang tenggelam yang Erry pikirkan, tapi betapa kuatnya mental orang-orang menghadapi banjir ini. Mungkin daerah ini langganan banjir. Mungkin ada yang hanyut. Mungkin ada yang rusak. Mungkin ada yang sakit. 

Salah siapa? Bukannya tidak mungkin kalau ternyata ini salah orang-orang yang tidak tinggal disini...

"Putar balik deh kak" Ucapan Koko agak bergetar. Jiwa sosialisnya bangkit lagi.
"Oh iya, oke." Erry menjawab canggung. Dia memutar motornya dan kembali melewati pasar. Mereka melaju perlahan. Mengharap ada seseorag yang lewat.

Ada seseorang yang lewat.

"Kak, berhenti kak!" Koko menepuk-nepuk pundak Erry begitu melihat ada seseorang yang berjalan menuju arah lokasi banjir tadi. Jilbab putih yang kotor, dengan baju yang lusuh. Tapi wajahnya tidak menyiratkan kesedihan. Seolah tak ada bekas tangis merana. Tidak ada bekas jeritan nelangsa. Bahkan ada senyum tipis di wajahnya. Senyum optimis. Raut wajahnya bahagia bagaikan bunga yang mekar setelah hujan.
Erry menurut saja, berhenti. Koko melompat turun dan berlari menghampiri gadis berjilbab itu.
"Kakak, boleh wawancara nggak? Ada makanan juga nih, buat kakak." Koko menyodorkan bungkusan makanan kepada kakak itu.
"Hee? Wawancara?" Kakak itu tersenyum canggung. Melihat ke wajah Koko yang lelah dan penuh harap, sepertinya dia jadi tidak tega.
"Iya kak. Boleh ya? Boleh kan?"
"Eh...."
Kakak itu berpikir. Dia celingukan. Matanya menangkap Erry yang duduk di motor, kaca helmnya naik. Bengong.
"Boleh deh..."
"HOREEEEEE!" Koko tanpa sadar memeluk kakak itu. Rasa bahagianya dia tumpahkan dengan memeluk kakak itu erat, seolah kakak itu adalah ibunya. Perjuangannya menyiksa kakinya sebentar lagi akan berakhir. Benar apa yang daritadi diteriakkan hatinya untuk otaknya. Siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan hasilnya. Ini benar-benar sepadan. Tapi saat ini, otaknya seperti menikung. Siapa yang menebar, ialah yang menuai. Koko akan mengadu pada guru Sosiologi soal Emi dan Azra.
"Eeeh?" Kaget. Bisa dipastikan reaksi pertamanya adalah kaget.
"Hehehe, maaf kak." Koko melepaskan pelukannya, lalu nyengir kuda, "Beneran boleh wawancara kan kak?"
"Iya." Kakak itu ternsenyum manis. Koko baru sadar. Sekusam apapun wajahnya, dia tetap kelihatan cantik!
"Nama kakak siapa?" Tanya Koko sambil mengambil buku tulis dan pulpen.
"Nama kakak Aida. Oh iya, nama kamu siapa?" Tanya Aida.
"Aku Koko. Kakak yang disitu kak Erry." Koko menunjuk Erry. Erry seketika bangun dari bengongnya, lalu tersenyum tipis ke arah dua gadis itu. Aida kaget lalu memalingkan muka.
"Tunggu Koko, kakak ada yang mau diambil di rumah kakak. Keburu malam, nanti jadi susah. Kakak mau kesana dulu ya! Sebentar aja kok. Kamu tunggu di depan pasar aja." Aida seketika teringat tujuan utamanya kembali ke sini.
"Kak Erry, bisa bonceng tiga nggak?" Koko bertanya sambil mendekati Erry.
"Eh, nggak usah Koko! Jalan bisa kok! Nggak jauh ini." Aida mencoba menghentikan si murid SMP. Sebenarnya ada alasan lain sih.
"Bisa kok." Erry memajukan posisi duduknya, "Emangnya rumah Aida dimana?"
"Di jalan ini juga kok. Tinggal lurus aja, rumahku nanti bakal kelihatan. Tapi jalannya naik-turun sih." Aida menunjuk ke jalan yang barusan dilihatnya bersama Koko.
"Lho, jalan itu kan banjir?" Erry kaget.
"Iya, memang banjir. Tapi selama masih bisa masuk rumah sih nggak apa-apa."
"Kakak... Di jalan yang itu cuma kelihatan atap-atap rumah aja..." Koko menjawab pelan.

Lalu hening.

"Beneran?" Aida bertanya dengan lirih.
"Beneran." Erry menjawab dengan nada sedih.
"Duuuh, gimana ini..." Aida menundukkan kepalanya. Nada sedihnya bukan nada yang dibuat-buat. Bukan akting. Dia benar-benar berada diantara emosi yang membakar dirinya. Sedih, kesal, kecewa, emosi yang tidak enak menggumpal.
"Kenapa memangnya kak?" Tanya Koko. Awalnya dia mau mencoba memperbaik suasana, tapi sepertinya tidak berjalan seperti yang dipikirkannya.

"Biarkan aku ke sana dulu..."



---akhir bab 1---

2 Chapter sekaligus karena aku sayang readers. Ini cerita yang spoilernya pernah aku post di entri lain. Soal cerita yang satu lagi... haha itu terlalu random, abaikan saja.

Aku udah nunggu-nunggu kapan mau posting ini, soalnya ini project udah lama banget, dan aku lagi kehilangan mood buat lanjutin. Chapter 4 masih menunggu nasib. Entahlah. Yang baik kalo mau ngasih dukungan, aku akan menerima dengan senang hati :) kolom komentar terbuka lebar untuk review dan apapun! Dan aku udah males edit-edit lagi, jadi... yah begitulah bwahaha.

Baiklah kuota menipis! Take more happiness, Kironase off!

Guekangenoutroituhaha


Komentar

Postingan populer dari blog ini

sketsa Dragon Warrior (not by me) + bonus foto Code Lyoko

Bantuin nyari judulnya dong, ga ada ide nih

Merah dan Biru