AoIbNikki: Deep, Deep down

Yo readers! Aku kembali membawa fanfic. Sebenarnya ini buat project 2D bareng Tagisa. Karakternya Tagisa yang bikin, jadi aku bikin cerita ini pake karakter AoIbNikki dulu. Nanti karakternya bakal aku diskusiin lagi bareng Tagisa. Oke, ga usah bacot lagi, scroll down!

Disclaimer: Ao oni punya NoProps, Ib punya Kouri, Yume Nikki punya Kikiyama.
Warning: OOC. Hiroshi jadi 'cool', Garry bego, Mary Happy-Go-Lucky. Typo bermunculan karena jariku kegedean. Ini entri yang panjang. Bagi yang pengen baca, silahkan lanjut.


[Madotsuki POV]
Bukan salahku kan, kalau tak ada yang mengerti aku?
Itu salah mereka, mereka yang tidak peduli padaku.
Tidak. Salah.
Aku yang terlalu menutup diri dari mereka.

Langit sore yang berkilauan terlihat dengan jelas dari atas balkon rumahku. Mataku terpaku, menerawang jauh.

'Seandainya, aku bisa cerita.....'

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menghilangkan pikiranku ini. Kalau aku cerita, justru ini malah akan membuat mereka semua khawatir. Sudah, Lupakan itu. Lupakan semuanya, dan rasa sakitnya akan hilang.


Kutinggalkan balkon rumahku yang tidak terlalu besar itu dan berjalan menuju kamarku. Hanya kamar biasa, hanya terdiri dari sebuah kasur, meja belajar, lemari, karpet besar membentang di tengah ruangan, serta dua jendela dan satu pintu yang menuju ke balkon. Tapi, di dalam ruangan ini ada sesuatu yang sangat berharga.
Sebuah meja belajar dengan diari. Tempat curhatku satu-satunya. Semuanya ada di dalam sini. Rasa sakit karena terabaikan, semuanya tertera di dalam sini. Kubuka satu lembar, lembar hari ini. Kutulis segala yag kupikirkan. Tentang bagaimana perasaanku terabaikan, tentang bagaimana tubuhku yang semakin hari semakin melemah, semuanya.

"Madotsuki, ayo makan malam!" Pintu terbuka dan menampakkan sosok ibuku. Aku hanya mengangguk dan mengikutinya turun ke bawah, ke meja makan. Aku menempati kursiku dan mengambil makananku, sedangkan ibuku mengambilkan makanan untuk ayahku.
Seperti biasa, aku menatap mereka dengan pandangan sedih, tapi mereka tak memedulikanku. Seperti biasa pula, makan malam diliputi obrolan hangat antara ayah dan ibuku. Antara ayah dan ibuku.

"Gimana kalau Minggu nanti kita pergi berdua?" Ayahku dengan ramah mengusulkan rencana untuk jalan-jalan di akhir pekan. Usulan itu, seandainya itu juga untukku.
"Ah, boleh juga!" Ibuku membalas dengan senyum hangat. Ya ampun, Ibu, aku juga ingin kau beri senyum seperti itu! Setiap kali bicara dengan Ayah, Ibu selalu terlihat senang. Tapi kalau bersamaku, Ibu sangat datar, seolah aku adalah orang yang dibencinya. Begitu juga Ayah. Tunggu, aku bahkan sangat jarang mengobrol dengan Ayah.
Selagi mereka mengobrol berdua, aku hanya menyuap makananku dengan tatapan sedih mengarah ke mereka. Tapi, mereka tidak peduli. Seolah aku sama sekali tidak ada.

Inilah keluargaku. Aku terabaikan oleh mereka. Mungkin memang aneh, karena biasanya keluarga broken home memiliki masalah pada orang tua, tapi keluargaku ini malah bermasalah dengan anaknya. Aku yang berperan sebagai anak satu-satunya, terabaikan.

(Flashback)
Beberapa tahun yang lalu, aku masih kelas dua SD. Ayahku baru pulang kerja, Ibuku yang di rumah tak tau kalau aku demam tinggi.
"Kau ini memang tak pernah peduli pada anak! Apa salahnya memeriksa keadaannya sedikit?" Ayahku memarahi ibuku tepat di depanku, sementara aku terbaring di tempat tidur dengan kompres di kepala.
"Memangnya hanya kau yang sibuk?! Aku juga sibuk membereskan rumah!" Ibuku membalas.
"Tapi setidaknya perhatikan anak sedikit!" Ayahku masih membentak ibuku.
"JANGAN HANYA MENYALAHKAN ORANG!" Ibuku menampar ayahku. Tepat di depan mataku. Ayahku mengepalkan tangannya, bersiap membalas ibuku.

"Berhenti!" Aku berseru menghentikan mereka. Mereka berdua berhenti dan melihatku berusaha berjalan menuju mereka. Aku membuka kepalan tangan ayahku dan melebarkan tangannya, lalu mendorongnya mendekati ibuku, lalu kembali menutup tangannya, sehingga dia memeluk Ibu.
"Aku nggak apa-apa kok. Ayah sama Ibu damai, aku pasti nggak sakit lagi!" Aku ikut memeluk mereka. Seketika, atmosfir disini membaik.
(Flashback End)

Tapi sejak saat itu, mereka benar-benar tidak pernah bertengkar lagi. Bahkan saking dekatnya mereka, aku sampai terlupakan. Perlahan, mereka menjauh dariku. Pada awalnya, mereka hanya sedikit mengabaikanku. Tapi sekarang, mereka bertingkh seolah aku tidak ada. Mereka terbiasa jalan-jalan selama akhir pekan, dan aku ditinggal di rumah. Hampir tiap akhir pekan aku sendirian di rumah, tak bisa apapun kecuali memandang langit lewat balkon, tidur, atau menulis diari. Ya, ini memang aneh. Aku sendiri tak tau apa yang ada di otak mereka, sehingga hanya karena kalimat itu mereka menjauhiku. Atau mungkin ada alasan lain.

Apakah ini salahku?

-Tunggu. Salahku apa?-

Mereka kan, yang tidak peduli padaku? Mereka yang mengabaikanku! Aku tidak salah dalam hal apapun!

Mungkin aku salah.


Salahku karena aku tidak mau bicara pada mereka. Aku tak pernah bilang kalau aku butuh perhatian. Aku tidak mau mengganggu mereka. Aku tidak mau mereka rusak hubungan lagi karena aku. Jadi, kubiarkan mereka mengabaikanku. Lebih baik diabaikan daripada menjadi perusak.

Aku membawa piringku ke bak cucian dan mencucinya sendiri. Lalu naik ke atas, tanpa memedulikan mereka yang sibuk bermesraan. Aku sedikit menulis di diari, lalu segera pergi tidur.

'Setidaknya, kehidupan sekolahku lebih baik....'

***

[Normal POV]
"Madotsuki!"
Gadis berkepang dua itu menoleh ke belakangnya. Terlihat gadis lain yang juga berambut cokelat, Ib, melambaikan tangannya.
"Oh, hai Ib." Madotsuki hanya tersenyum tipis menyambut sahabatnya itu.
"Udah bikin PR?" Ib memulai percakapan.
"Eh? PR? PR apa?"
"Matematika. Belum bikin ya?"
"Duh, lupa. Sial, matematika pelajaran pertama lagi. Ib, boleh..... pinjam PR?"
"Aku juga belum bikin kok. Tenang." Ib santai.
"Ah...." Madotsuki sweatdropped.
"Tenang aja. Kan bisa nyontek orang lain. Kalo nggak isi dengan asal." Ib masih menjawab dengan santai saat mereka memasuki kelas. Di kelas masih sepi, hanya sekitar 6 orang dari 24 bangku yang tersedia.

Madotsuki menduduki bangku di deretan kedua dari depan, di sebelah kanannya ada jendela. Sementara di kirinya, ada murid teladan yang juga sahabatnya, Hiroshi. Di sekolah, kehidupan Madotsuki memang jauh lebih baik. Dia memiliki 4 sahabat. Ib, Hiroshi, Garry dan Mary. Tapi dari semua sahabatnya, tak ada yang tau soal masalahnya di rumah. Madotsuki tak mau memberi tau mereka, dia tidak mau membuat orang menjadi khawatir padanya.

"Hii~"
"Ro~"
"SHI!"

Terdengar suara hentakan meja dari meja sebelahnya. Garry dan Ib yang memukul meja Hiroshi.

"Apa?" Hiroshi memalingkan tatapannya dari bukunya. Garry dan Ib memasang muka memelas. Madotsuki tertawa kecil. Dari ekspresinya Madotsuki sudah tau kalau Ib dan Garry ingin menyontek PR.

"Nih. Tapi tumben, kenapa Ib juga mau pinjam PR?" Hiroshi memberikan buku matematikanya kepada Garry. Garry langsung menyambarnya, menaruhnya di mejanya dan menyalin bagian PR ke bukunya, diikuti dengan Ib.
"Aku terlalu sibuk membuat tugas biologi." Ib menjawab santai seperti biasanya.
"Hiroshi, aku juga pinjam ya?" Madotsuki mengambil bukunya dan menuju meja Garry. Hiroshi hanya mengangguk, sementara Madotsuki ikut menyalin PR.

"HEI SEMUANYA! AKU SUDAH BIKIN PR LOOOOOOH!" Mendadak Mary membuka pintu kelas dan memamerkan PR-nya.
"Paling salah semua!" Ledek Garry
"Ga mungkin dong! Aku kan pintar! Memangnya Garry, yang tiap hari nyontek PR?" Mary menjulurkan lidah pada Garry. Garry hanya bersungut-sungut dan mengabaikan Mary, lanjut menyalin PR. Madotsuki tertawa melihat tingkah sahabatnya. Tanpa disadarinya, Hiroshi menatap Madotsuki curiga.

Pelajaran kedua, olahraga.
"Hari ini ambil nilai buat lari estafet kan?" Tanya Mary ke Madotsuki
"Iya." Madotsuki menjawab santai. Dia cukup hebat dalam berlari, jadi dia santai saja. Walaupun sebenarnya dia agak gugup juga karena dia jarang berolahraga, mungkin kemampuanya berkurang.
"Ah, sial. Harusnya aku nggak makan macaron banyak-banyak kemarin. Jadi berat!" Garry mengeluh
"Iya, kamu gendut. Nanti kalo sekelompok sama aku jangan bikin lama ya." Ledek Mary
"Justru bakal kulama-lamain, biar kamu kalah!" Balas Garry. Sementara keduanya berbalas meledek, Madotsuki cekikikan. Mary dan Garry memang sahabat sekaligus musuh, adu mulut hampir setiap hari.
"Kalian berantem terus, berisik ah!" Hiroshi protes.
"Kalo ga suka, pergi aja sana!" Usir Mary. Hiroshi hanya merengut dan pergi betulan. Madotsuki, Garry dan Mary tertawa.
PRIIIIIIT!
"Semuanya berkumpul! Kita pemanasan lalu bagi kelompok ya!" Perintah Masada, guru olahraga mereka.

-skip-

"Kelompok kelima, Ib, Madotsuki, Shitai, dan Shun! Kelompok keenam, Mafuruko, Takuro, Mary dan Naoki!"

---
Mary, Ib, Garry dan Madotsuki duduk di pinggir lapangan, menunggu giliran betanding.
"Wah, kita versus!" Mary berseru girang pada Ib dan Madotsuki. Tunggu, kenapa girang?
"Mary kok kayaknya seneng..." Ib dengan polos bertanya.
"Aku seneng, aku nggak sekelompok ataupun melawan Garry!" Mary menunjuk Garry yang duduk disebelahnya.
"Semoga teman sekelompokmu nggak kecewa karena larimu lamban" Garry membalas.
"Dan semoga macaron di perutmu itu membuat kakimu kram"
"Hei, Garry! Ayo cepat siap-siap, berantem terus!" Panggil Hiroshi yang sekelompok dengan Garry. Hiroshi dan teman sekelompoknya yang lain sudah di lapangan, tinggal Garry saja.
"Sial kau Mary." Garry meninggalkan Mary dan menuju teman sekelompoknya yang lain.
"Lari yang cepat, jangan menggelinding!" Mary mengatakan ledekan terakhir yang membuat Garry semakin marah.

"Kalian kenapa berantem terus sih?" Tanya Ib
"Entalah. Tapi tiap kali lihat dia, aku langsung mau menghajarnya." Mary menjawab dengan mata berkilat-kilat
"Tapi kalian dekat kok." Celetuk Madotsuki
"Madotsuki kayak nggak tau aja. Berantem kan tanda keakraban!" Mary nyengir.

'Berarti pertengkaran Ayah dan Ibu waktu itu wajar. Seandainya aku diam saja dan berpura-pura tidur...' Madotsuki termenung sesaat. Hanya sesaat, lalu segera dikembalikannya kesadarannya.

"Berantem tanda keakraban?" Tanya Ib
"Iya. Ada beberapa orang yang menunjukkan ketertarikannya dengan ledekan. Di film-film banyak banget yang kayak gitu!" Mary berlagak seperti guru. Ib dan Madotsuki hanya mengangguk layaknya seorang murid.
"Kamu tertarik sama Garry dong." Madotsuki nyengir.
"Tertarik kan nggak harus suka!"
"Tapi aku nggak pernah berantem sama Madotsuki. Berarti aku nggak akrab dong?" Kembali Ib lontarkan pertanyaan dengan mimik polos.
"Nggak harus berantem dulu baru akrab, Ib" Madotsuki sweatdropped. Mary cekikikan.

PRIIIIIIIT!
"Kelompok tiga lawan kelompok empat!" Masada memanggil kelompok selanjutnya. Kelompok pertama dan kedua minggir ke sisi lapangan.
"Hei, lagi ngomongin orang ya?" Garry mendekati Ib, Madotsuki dan Mary. Hiroshi juga bersamanya kali ini.
"Iya. Eh, nggak juga sih. Hahaha!" Mary ngakak tanpa sebab. Garry malah bingung sendiri.
"Aneh dasar." Garry duduk.
"Kau juga aneh." Balas Mary
"Udah, udah. Kalian berdua aneh." Hiroshi merengut lagi. Dia terkadang merasa terganggu dengan pertengkaran Mary dan Garry.
"Merengut mulu nanti banyak kerutan, mirip kakek-kakek loh." Ledek Mary. Yang lain ketawa.
"Kalian nggak kupinjemin PR lagi ya." Hiroshi marah. Walaupun lebih kelihatan seperti marah yang dibuat-buat.
"Bercanda Hiroshi, beeeeercaandaaa~!" Nada bicara Mary justru lebih terdengar seperti ledekan lain. Hiroshi hanya memasang tampang seperti (=3=)

'Kehidupan sekolah memang menyenangkan!' Madotsuki sangat bersyukur, dia memiliki sahabat yang baik. Walaupun dia tidak punya keberanian untuk cerita tantang masalah keluarganya pada mereka, Madotsuki merasa itu bukan masalah besar. Justru dia tidak mau teman-temannya terlalu khawatir dengannya.

"Eh, ada yang haus nggak?" Tanya Garry
"Nggak." Semuanya menjawab dengan cepat. Garry cemberut.
"Ah, nggak setia kawan nih. Aku ambil minuman dulu ya." Garry pergi.

"Seenaknya bilang nggak setia kawan. Kita kan cuma nggak mau capek" Cibir Mary.
"Oh iya, Dua minggu lagi ulang tahunnya Garry kan. Kita mau apain dia nih?" Ib memulai topik baru
"Apapun yang nggak biasa!" Mary berkata dengan semangat.
"Kita menyamar jadi monster, terus kejar-kejar Garry. Hahaha!" Usul Madotsuki sambil melirik Hiroshi.
"Itu mengingatkanku dengan sesuatu..." Hiroshi menanggapi dengan datar. Madotsuki tertawa
"Eeh, aku ada ide!" Mary baru saja ingin melontarkan idenya, kalau saja tiupan peluit tidak merusak suasana.

"Kelompok lima lawan kelompok enam!"
"Ah, sial. Lanjut nanti lagi aja ya!" Mary menuju ke tengah lapangan.
"Hiroshi, duluan ya!" Madotsuki berdiri, diikuti Ib. Keduanya juga menuju ke tengah lapangan.
"Ya." Hiroshi menjawab singkat.

Ib, Madotsuki, Shitai dan Shun bekumpul membentuk lingkaran kecil.
"Siapa pelari pertama?" Tanya Shitai
"Aku ya?" Usul Shun
"Aku mau kedua" Shitai menyela Madotsuki yang mau berbicara.
"Oke, aku ketiga" Madotsuki menghela nafas
"Sip. Terakhir." Ib memutar bola matanya
Mereka berempat langsung membubarkan diri dan menuju tempatnya masing-masing.

"Bersedia, siap. mulai!" Dan tiupan peluit kembali terdengar. Mary sebagai pelari pertama, langsung mengayunkan kakinya, sedikit lebih cepat dari Shun.
"Hei, aku balik" Garry duduk di sebelah Hiroshi yang hanya diam melihat pertandingan.
"..." Hiroshi tak menggubris pertanyaan Garry. Garry tak marah, sahabatnya ini sudah biasa seperti ini.
"Mary ternyata larinya cepat ya!" Garry terlihat kagum melihat Mary yang berhasil mengungguli Shun, dan sudah berhasil mengoper pipanya. Shitai dan Mafuruko berlari dengan kecepatan yang hampir sama, kedudukan mereka tidak berbeda jauh. Madotsuki sudah bersiap di tempatnya, menunggu operan pipa dari Shitai. Dia menarik nafas, dan menghembuskannya untuk menghilangkan gugupnya. Begitu pipa sudah sampai di tangannya, dia segera berlari menyusul Naoki yang sudah berada di depannya. Baru seperempat jalan, Madotsuki mendadak merasa kakinya nyeri, seperti kram.

'A-Aw... Kakiku kenapa mendadak sakit?' Sakit di kakinya itu memperlambat larinya. Namun, diabaikannya nyeri itu, tetap dia paksakan berlari. Dia tidak mau mengecewakan kelompoknya, apalagi Shun yang sepertinya tadi berjuang sangat keras.

"Madotsuki kenapa?" Garry kebingungan melihat lari Madotsuki agak sempoyongan dan seperti akan jatuh.
'Uuukh... Sakit...'
Hiroshi yang tadinya memperhatikan Naoki, langsung melihat ke arah Madotsuki. Dan benar saja, Madotsuki jatuh dengan jarak nol koma sekian meter dengan tangan Ib yang terjulur ke belakang, bersamaan dengan Takuro yang mulai berlari.

"MADOTSUKI!" Jerit Garry, Hiroshi dan Mary. Ib segera membalikkan badannya, dan membantu Madotsuki duduk dan meluruskan kakinya. Anak-anak yang lain langsung berbisik-bisik. Takuro juga berhenti berlari, tapi dia tidak kembali ke garis. Garry, Hiroshi, Mary serta Masada juga segera menghampiri Madotsuki.

"Ka... Kakiku sakit..." Madotsuki memegangi bagian kakinya yang sakit. Tepatnya, tungkainya.
"Siapapun, ambilkan Madotsuki air minumnya dan bawakan krim penghilang nyeri!" Suruh Masada. Garry dan Mary mengangguk lalu pergi. Tidak memakan waktu lama, Mary sudah kembali dengan botol minum milik Madotsuki. Madotsuki segera meminumnya dengan cepat.
"Pelan-pelan, Mado." Mary mengingatkan. Madotsuki berhenti sesaat, lalu menghabiskan air di botolnya.
"Kamu kayaknya haus banget..." Ib terbengong.
"Iya. Nggak tau kenapa, akhir-akhir ini aku sering kehausan." Madotsuki cengengesan
"Madotsuki, masih sakit?" Tanya Masada khawatir
"Madotsuki!" Garry berlari membawa krim penghilang sakit dan memberikannya pada Masada. Masada segera mengoleskan krim itu.
"Masih sakit?" Tanya Hiroshi setelah Masada selesai
"Udah nggak terlalu kok. Makasih semuanya." Madotsuki berusaha berdiri. Ib dan Mary segera membantunya.
"Bisa jalan?" Tanya Masada. Madotsuki hanya mengangguk dan mengambil botol minumnya. Ib dan Mary mulai melepaskan Madotsuki setelah ia bisa berjalan beberapa langkah, dan Madotsuki pergi ke kelas. Dihampirinya tasnya dan botolnya dimasukkan.

'Maaf semuanya, aku merepotkan kalian. Tapi, mungkin memang ada yang aneh dalam diriku...'

---

Esok harinya, hari Sabtu.
"Nnngh...." Sinar yang terang dari jendela menyinari Madotsuki, menyorot ke matanya yang baru terbuka sedikit. Kaget akan serangan cahaya yang masuk, Mata Madotsuki langsung terbuka sepenuhnya.
"Aaaaaah!" Madotsuki segera mengubah posisinya menjadi duduk.
"Madotsuki!" Ayahnya mendadak membuka pintu dengan panik, malah membuat Madotsuki kaget.
"Eh, maaf. Kok tiba-tiba teriak?" Tanya Ayahnya
"Nggak, kaget aja aku bangun kesiangan." Madotsuki menjawab dengan bingung.'Tumben Ayah ke kamarku...'
"Yaudah. Sarapan sudah siap. Ayah dan Ibu akan pergi menginap, baru pulang hari Senin nanti. Sampai jumpa." Dan Ayahnya segera menutup pintu. Setelah Ayahnya pergi, Madotsuki masih dalam posisis duduk,  tidak bergerak. Dia hanyut dalam pikirannya sendiri. Mengapa Ayahnya begitu sungkan, Mengapa orangtuanya terus mengabaikannya.
'Ah, bukan masalah yang begitu besar' Madotsuki turun dari kasurnya dan menuju lantai bawah. Di meja makan, sudah ada setangkup roti serta segelas susu. Peralatan makan ayah dan ibunya sudah tidak ada, begitu juga orangnya. Sepi.

'Setidaknya, aku beruntung orang tuaku masih membuatkanku sarapan.' Ia tersenyum miris, lalu mulai melahap sarapannya. Tanpa memakan waktu yang lama, Madotsuki menghabiskan sarapannya. Setelah selesai mencuci peralatannya, Madotsuki langsung kembali ke kamarnya. Dibukanya pintu kamarnya, dan terdiam sesaat. Diedarkannya pandangan ke seluruh bagian kamar, baru setelah itu masuk.


Madotsuki menduduki meja belajarnya, mulai menulis di diarinya. Kegiatan itu hanya berlangsung selama beberapa menit. Madotsuki mulai merasa bosan. Dibukanya laci meja belajarnya. Di dalamnya ada beberapa buku. Diambilnya satu, dan ternyata itu buku polos tanpa garis. Atau, sketchbook. Madotsuki mengambil peralatannya dan menaruh semuanya di kursinya, lalu mendorongnya ke balkon. Di luar, semuanya terlihat biasa saja. Langit siang yang cerah, pohon-pohon yang tumbuh di halaman, serta jalan kecil di depan rumahnya. Madotsuki menhentikan kursinya di ujung balkon, dan duduk disana. Pemandangan terlihat lebih jelas dari sini. Madotsuki mulai mencorat-coret sketchbooknya, mulai membuat sketsa dirinya versi manga yang entah kenapa ingin dia buat.

---

Hiroshi kembali merengut. Dirinya dipaksa ayah dan ibunya untuk ikut olahraga bersama mereka. Walaupun dia sebenarnya sama sekali tidak suka bersepeda di pagi hari -atau siang, lebih tepatnya. Dia mengayuh sepedanya masih dengan wajah tak suka.

"Hiroshi, terpaksa ya?" Tanya Ibunya menengok ke Hiroshi di belakangnya. Hiroshi hanya mengangguk tidak suka. Ibunya menghela nafas.
"Baiklah, kalau kamu mau pulang. Atau mau mencari rute sendiri juga boleh. Jangan nyasar ya."
Dan tanpa membuang waktu, Hiroshi langsung mengayuh sepedanya berbalik arah. Dia juga sambil melihat-lihat sekitar, takut tersesat. Lalu dia berhenti sebentar di rumah yang bisa dibilang besar. Di balkonnya, ada seorang gadis yang wajahnya agak tertutup sketchboook. Tapi dia bisa melihat sedikit wajahnya. Dia memiliki dua kepangan dari rambut cokelatnya. Dari situ, Hiroshi sadar kalau gadis itu adalah Madotsuki.

"Madotsuki?!" Hiroshi memanggilnya. Daerah komplek ini tidak terlalu ramai, jadi sepertinya tidak masalah kalau Hiroshi berteriak memanggil temannya. Yang dipanggil menoleh, dan ketika melihat sahabatnya dibawah, langsung ditinggalkannya bukunya dan dia berdiri.

"Hiroshi!" Balas Madotsuki. Hiroshi melambaikan tangannya, begitu juga Madotsuki. Madotsuki segera turun ke bawah dan menuju ke depan melewati halaman kecil rumahnya. Dihampirinya Hiroshi.
"Hey." Sapa Hiroshi, bingung harus apa melihat Madotsuki yang ngos-ngosan.
"Mau mampir?" Tawar Madotsuki. Hiroshi mengerutkan dahinya.
"Mampir? Orangtuamu boleh?" Tanya Hiroshi
"Orangtuaku lagi pergi. Aku suntuk nih, sendiri di rumah." Madotsuki menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
"Kalau nggak ngerepotin sih, oke."
Madotsuki bersorak kecil. Di paling nggak suka liburan, karena rumahnya pasti sepi. Madotsuki membuka pagar rumahnya lebih besar dan mempersilahkan Hiroshi masuk. Hiroshi memarkirkan sepedanya di halaman  rumah dan mengikuti Madotsuki masuk ke rumahnya. Begitu dia melangkahkan kakinya masuk, dia terkejut. Rumah Madotsuki bisa dibilang sangat besar, apalagi kalau isinya hanya tiga orang.
"Kamu nggak punya kakak atau adik?" Tanya Hiroshi.
"Iya. Duduk sini, Hiro." Madotsuki mempersilahkan Hiroshi duduk di sofa dengan TV di depannya.
"Aku buat teh dulu ya." Madotsuki pergi ke dapur dekat ruang tamu ketika Hiroshi duduk
"Eh, nggak usah repot-repot!" Cegah Hiroshi
"Nggak repot kok, ada teh dingin di kulkas." Kata Madotsuki. Hiroshi hanya mengangguk, mengalah. Lagipula ini rumah Madotsuki, terserah dia saja.

Tanpa butuh waktu lama, Madotsuki sudah kembali dengan teh dan kue di nampan.
"Aku punya banyak cookies coklat-lemon. Coba aja!" Ditaruhnya nampan itu di meja, dan mengambil satu kue. Hiroshi mengambil gelas teh untuknya dan meminumnya. Ada sedikit rasa asam. Dari lemon, sepertinya.

"Madotsuki, kamu suka rasa lemon ya?" Tanya Hiroshi.
"Iya. Walaupun asam, aku suka." Madotsuki mengambil tehnya juga.
"Kenapa?" Tanya Hiroshi. Entah kenapa, dia mau menanyakan hal ini pada Madotsuki. Jujur, walaupun dia dan Madotsuki adalah sahabat, Hiroshi tidak begitu mengenal Madotsuki. Dia bahkan baru tahu kalau Madotsuki tinggal di komplek yang sama dengannya.
"Dulu, ibuku sering membuat cookies rasa lemon dan coklat. Biasanya itu untuk cemilan di sore hari, lengkap dengan lemon tea, buatan ibuku juga. Aku suka banget. Pernah minta diajari juga gimana cara buat cookies itu. Dan, begitulah." Madotsuki bercerita. Hiroshi mengangguk dan mencoba cookies itu. Dan dia mengakui rasanya enak walaupun asam.
"Enak kok. Kamu bikin sendiri?" Tanya Hiroshi
"Iya? Makasih. Itu lemon beneran loh, bukan dari perisa lemon!" Madotsuki memberi tau dengan riang. Setelah itu, keheningan melanda. Hiroshi tidak berkata apa-apa, hanya melihat-lihat sekeliling rumah. Madotsuki sendiri merasa kondisi ini awkward, ini pertama kalinya dia mengajak temannya ke rumahnya.

"Rumahmu gede banget." Komentar Hiroshi, "Kamu beneran cuma bertiga disini?"
"Iya. Dulu aku punya kucing, tapi udah mati." Madotsuki nyengir. Hiroshi sweatdropped.
"Kamu nggak kesepian?"

Hening.

"Ya iyalah..." Madotsuki menjawab pelan, "Orangtuaku pergi tiap akhir Minggu, aku sering ditinggal sendiri di rumah..."
"Kok gitu?"
"Nggak tau. Mungkin mereka nggak suka aku."

Keheningan kembali melanda.

----
Aku nulis ini tanggal 22 Mei. Entri ini terlalu lama teronggok di draft, mending dipisah jadi 3 chapter aja. Dan, ini batal jadi story buat projectku. Tapi, aku akan tetep lanjutin ini. Stay tuned!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

sketsa Dragon Warrior (not by me) + bonus foto Code Lyoko

Bantuin nyari judulnya dong, ga ada ide nih

Merah dan Biru